Tidak ada kawan sejati, yang ada kepentingan sejati”. Begitulah hukum yang berlaku dalam dunia politik sekular. Hal ini juga tampak terjadi pada koalisi “gendut” pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono kali ini.
PKS yang dikenal sebagai “anak bandel” dalam koalisi diisukan bakal dipecat dari keanggotaan Setgab (Sekretariat Gabungan).
PKS dinilai telah melanggar butir-butir kontrak koalisi. Sebagaimana diketahui, partai yang sebelumnya bernama Partai Keadilan (PK) ini beberapa kali berseberangan pendapat dengan anggota koalisi menyangkut sikapnya dengan kebijakan pemerintah. Seperti halnya soal Century, dan yang terakhir soal sikapnya terhadap kebijakan menaikkan harga BBM oleh pemerintah.
Entah masih ragu atau berhati-hati, sampai detik ini SBY belum juga mengeluarkan sikap resminya soal keanggotaan PKS dikoalisi. Sementara dari PKS sendiri, masih bersikeras ingin bertahan dikoalisi tersebut. Dilematis, tersirat ada beberapa perihal kenapa presiden layak untuk ragu.
PKS yang dikenal sebagai “anak bandel” dalam koalisi diisukan bakal dipecat dari keanggotaan Setgab (Sekretariat Gabungan).
PKS dinilai telah melanggar butir-butir kontrak koalisi. Sebagaimana diketahui, partai yang sebelumnya bernama Partai Keadilan (PK) ini beberapa kali berseberangan pendapat dengan anggota koalisi menyangkut sikapnya dengan kebijakan pemerintah. Seperti halnya soal Century, dan yang terakhir soal sikapnya terhadap kebijakan menaikkan harga BBM oleh pemerintah.
Entah masih ragu atau berhati-hati, sampai detik ini SBY belum juga mengeluarkan sikap resminya soal keanggotaan PKS dikoalisi. Sementara dari PKS sendiri, masih bersikeras ingin bertahan dikoalisi tersebut. Dilematis, tersirat ada beberapa perihal kenapa presiden layak untuk ragu.
Pertama: Jasa politik. PKS memiliki kontribusi saat terpilihnya SBY menjadi presiden RI.
Dalam ranah kehidupan politik sekular, bagi-bagi kekuasaan atau dikenal dengan istilah politik dagang sapi adalah sudah menjadi kemakluman. Keluarnya PKS dari koalisi berarti habis pula jatah mentri untuk PKS. Padahal SBY memiliki hutang budi politik.
Kedua: Golkar bisa berkibar. Partai penguasa orde baru yang sarat pengalaman bergelut dalam perpolitikan nasional ini bukan tidak mungkin bakal memainkan peranan penting dalam menyetir kebijakan pemerintah kedepan untuk kepntingan partai Golkar pada pemilu 2014 pasca dikeluarkannya PKS. Sebagai partai dengan basis massa hampir sama, maka demokrat bisa turun pamor jika Golkar naik.
Ketiga: Berbahaya bagi jalannya pemerintahan. Sengaja koalisi pemerintahan SBY ini dibentuk dengan merangkul sekitar 75 persen komposisi di parlemen dengan tujuan agar jalannya pemerintahan berlangsung mulus.
Kita tahu, meski prosentase pihak oposisi hanya sekitar 25 persen di parlemen, namun ternyata manuver-manuver politik oleh lawan-lawan politik SBY cukup merepotkan pemerintah, apalagi ditambah PKS.Pada pihak PKS sendiri meski mendapat tekanan yang cukup hebat supaya keluar dari koalisi, namun para elit PKS tetap bergeming ingin bertahan di koalisi
Kedua: Golkar bisa berkibar. Partai penguasa orde baru yang sarat pengalaman bergelut dalam perpolitikan nasional ini bukan tidak mungkin bakal memainkan peranan penting dalam menyetir kebijakan pemerintah kedepan untuk kepntingan partai Golkar pada pemilu 2014 pasca dikeluarkannya PKS. Sebagai partai dengan basis massa hampir sama, maka demokrat bisa turun pamor jika Golkar naik.
Ketiga: Berbahaya bagi jalannya pemerintahan. Sengaja koalisi pemerintahan SBY ini dibentuk dengan merangkul sekitar 75 persen komposisi di parlemen dengan tujuan agar jalannya pemerintahan berlangsung mulus.
Kita tahu, meski prosentase pihak oposisi hanya sekitar 25 persen di parlemen, namun ternyata manuver-manuver politik oleh lawan-lawan politik SBY cukup merepotkan pemerintah, apalagi ditambah PKS.Pada pihak PKS sendiri meski mendapat tekanan yang cukup hebat supaya keluar dari koalisi, namun para elit PKS tetap bergeming ingin bertahan di koalisi
Menurut penulis, Inilah sebabnya di Indonesia itu lebih cocok kabinet parlementer, bukan presidensil. Memang konstitusi menyebut presidensil, tapi mekanisme menuju ke situ tidak pernah dibuat. Tak ada mekanisme untuk menciptakan satu partai super dan oposisinya. Maka akhirnya kabinet yang katanya presidensil itu isinya parlementer.
0 komentar:
Posting Komentar